Pendahuluan

Artikel awal mengenai Hero dalam tim - Part 1

Artikel penyebab kenapa adanya Hero ini tidak cocok di beberapa tim, Hero dalam tim - Part 2

Ok, sekarang kita tahu bahwa tim bisa mempunyai permasalahan yang cukup serius dengan adanya Hero ini.

Sekarang apa yang mesti kita lakukan ?


Seperti biasa, tindakan standarnya ada 2 :

  • Tindakan preventif, yaitu tindakan sebelum kejadian.
  • Tindakan korektif, yaitu tindakan setelah kejadian.

Tetapi di dalam tim, semuanya berproses. Tim adalah struktur yang dinamik.

Sehingga semua perbaikan dan pembelajaran dianggap bagian bagi perkembangan tim. Termasuk didalamnya ketika mengalami kasus tim berbasis Hero.

Tindakan preventif dan tindakan korektif bisa dilakukan terus menerus sepanjang perbaikan di dalam tim diperlukan.

Lebih baik kita menyebutnya sebagai kebiasaan-kebiasaan yang perlu kita lakukan untuk mencegah berkembangnya Hero di dalam sebuah tim, yaitu :

  1. Empowering semua anggota tim.
    Empowering artinya melibatkan semua anggota tim di dalam diskusi dan aksi yang melibatkan kerjasama tim. Misalnya di dalam tim IT. Diskusi mengenai estimasi effort dan waktu dari sebuah tugas mesti dilakukan dengan semua anggota tim. Libatkan semua anggota tim untuk menyampaikan pandangan dan pendapat masing-masing. Termasuk di dalamnya estimasi dan detail teknis yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas secara tim.

  2. Komunikasi, Diskusi teknis bersama, dan shared responsibility.
    Pair programming, diskusi, serta pendekatan yang lebih humanis dengan anggota tim bisa membuat pengetahuan tersebar, dan tidak melulu berada di posisi Hero saja. Tanggung jawab yang dibagi antara anggota tim bisa membuat semua orang bisa terlibat dan diakui kontribusinya di dalam tim. Efeknya juga bisa membuat anggota tim lebih pro aktif dan menemukan sendiri cara efektif dalam mengelola masalah.

  3. Menambahkan tugas mentoring dan sharing pengetahuan oleh Hero.
    Selama ini pengetahuan dan cara menyelesaikan masalah akan dihandle sendiri oleh Hero, dan itu sangat efektif.
    Tetapi ketergantungan pengetahuan dan pengalaman hanya kepada seseorang Hero saja, pasti akan berakibat buruk kepada tim kalau Hero ini tidak lagi di tim tersebut.
    Berbagi cara, best practice, dan juga mentoring anggota tim lain oleh Hero merupakan cara terbaik agar pengetahuan merata. Efeknya mungkin beberapa tugas tidak terselesaikan karena waktu yang digunakan untuk sharing. Akan tetapi cukup worthed kalau dibandingkan dengan efektifitas tim pada masa mendatang.

  4. Mengurangi permintaan baru dan fokus kepada konsistensi pace/pengerjaan tugas secara tim.
    Agar bisa bertahan lama, sebuah tim memerlukan kecepatan atau produktifitas yang relatif tetap, dan secara berangsur-angsur menambah produktifitasnya. Akan tetapi tidak dengan cara tiba-tiba. Kalau yang diharapkan adalah produktifitas yang meningkat tiba-tiba tanpa memperhitungkan produktifitas real dari tim, maka pasti akan muncul Hero dalam tim yang akan menyelesaikan semua kasus. Hal ini berakibat buruk pada jangka panjang. Ilusi dari produktifitas tim. Tugas dari Scrum Master atau Agile facilitator untuk tetap menjaga kecepatan produktifitas team, agar budaya Hero ini tidak berkembang. Salah satunya dengan melobi manajemen dan produk owner untuk memilih backlog yang bisa dikerjakan dan cocok dengan kapasitas tim.

  5. Hindari membuat tim menjadi tim yang Silo, yang terpisah dari organisasi atau tim lain dalam perusahaan. Tim adalah bagian dari organisasi yang bisa saja saling berhubungan satu sama lain. Tidak dipungkiri bahwa sebuah Tim IT pasti akan berhubungan misalnya dengan Tim Infrastruktur, Tim Database, Tim Helpdesk, atau tim lain yang berbeda proyek. Atau bahkan juga tim dari departemen selain IT. Berbagi informasi baik mengenai teknologi, best practice, manajemen, atau proses bisnis baik formal maupun informal, bisa membuka wawasan baik bagi Hero maupun anggota tim lain dalam menangani masalah secara bersama.

  6. Membiasakan budaya speak-up dan jujur mengenai permasalahan yang dihadapi. Biasanya dengan adanya Hero, sebagian orang akan mengalami Inferior Complex atau rendah diri ketika dihadapkan kepada keputusan Hero. Padahal ada pendapat dan pandangan berbeda yang mungkin saja berguna untuk kepentingan tim. Dengan membiasakan budaya speak up dan jujur misalnya terhadap ketidakmampuan tim kepada manajemen, maka akan membuka mata semua orang mengenai masalah yang ada di tim.


Referensi :

https://medium.com/@lucas.hendrich/we-dont-need-another-hero-or-the-hero-anti-pattern-771d42b1b99c