Pendahuluan

Oke, lanjut lagi mengenai Hero ini .

Artikel awal mengenai Hero dalam tim

Di dalam sebuah Tim, akan ada namanya seseorang yang biasanya menjadi Hero.

Yaitu pahlawan dalam sebuah tim, yang biasanya akan menjadi garda terdepan ketika sebuah tim sedang dalam kesulitan.

Kemampuannya dirasakan lebih besar dari kemampuan tim. Dia adalah penolong bagi tim ini.

Dia akan mengambil tugas-tugas yang sulit, beresiko, dan berharap tim akan baik-baik saja dengan bantuannya.

Itulah gunanya Hero dalam sebuah tim.

Dan tidak terkecuali adanya Hero di sebuah Tim IT.


Kenapa muncul orang dengan status Hero ini di lingkungan IT ?

Kembali merujuk kepada artikel Hero dalam tim, maka :

  1. Ada kepuasan pribadi dan kebanggaan bagi banyak IT profesional ketika menjadi Hero dalam sebuah Tim, ketika diketahui bahwa hanya dia yang bisa memperbaiki atau melakukan tugas tersebut. Apalagi ketika cuma dia satu-satunya yang tersisa di tim tersebut (walaupun artinya ini dia dianggap sebagai individu, bukan tim lagi karena cuma seorang saja)

  2. Kesenjangan pengetahuan dan kemampuan di dalam tim. IT profesional yang paling senior di dalam tim berpotensi menjadi Hero.

  3. Ada sebagian orang yang mempunyai sifat Saviour Complex, yaitu kecenderungan untuk menolong orang, bahkan dengan mengorbankan diri sendiri, tetapi berujung kepada keinginan untuk mengubah orang agar sesuai dengan keinginannya.

  4. Bisa juga karena faktor lingkungan atau faktor dari luar, seperti budaya harus show off untuk tujuan promosi jabatan, persaingan posisi, atau meningkatkan daya tawar posisi di kemudian hari.


Apa saja ciri-ciri orang bertipe Hero ini ?

Sifat menjadi Hero ini bisa umum di beberapa tempat dan juga beberapa negara tergantung budayanya.

Ada beberapa ciri-ciri yang bisa kita lihat dari Hero ini, yaitu :

  • Umumnya merupakan orang paling senior, paling lama, paling terampil dalam sebuah tim.
  • Umumnya memandang diri mereka lebih mampu dari orang lain.
  • Biasanya suka tampil menonjol dan mendominasi dibanding kolega-kolega satu tim nya.
  • Enggan untuk disalahkan karena kekeliruan atau kesilapan mereka.
  • Berbicara banyak tentang kemampuan dan pencapaian mereka, sehingga bisa mengganggu dan mengenyampingkan anggota tim yang lain.

Apakah itu salah ?

Tentu saja kita tidak akan menilai ini hitam putih saja.

Di beberapa perusahaan, bahkan budaya Hero ini adalah budaya yang dipupuk oleh manajemen.

Dengan adanya Hero, maka orang ini akan menjadi andalan dari manajemen ketika membutuhkan sesuatu dari tim.

Kemalasan dari manajemen untuk turun ke bawah menggali lebih dalam ke dalam tim, merupakan salah satu sebab kenapa Hero ini menjadi pilihan tepat antara manajemen dan orang yang ingin menjadi Hero.

Padahal sebuah tim tentunya kumpulan orang-orang, yang akan lebih mudah kalau dilakukan pendekatan melalui pendekatan personal dan pendekatan secara tim.

Pendekatan dengan menggunakan Hero jelas hanya akan mempertimbangkan satu/dua orang saja yang berperilaku sebagai Hero.

Anggota tim lain bisa saja menjadi pihak yang tidak terwakili ketika pendekatan dilakukan cuma dengan Hero saja.


Apa sih potensi masalah di dalam tim dengan adanya Hero ini ?

Pertanyaan asal yang akan muncul dari kita terhadap Hero ini adalah :

Bagaimana kalau Hero ini tidak ada dalam sebuah tim ? atau bagaimana kalau Hero ini resign ? akankah tim bisa berjalan lancar atau siapa yang bisa membackup nya ?

Di dalam sebuah tim, kita juga perlu mempertahankan yang namanya Team Resilience, yaitu kemampuan tim bertahan dan menjaga produktifitas ketika terjadi perubahan dan tantangan dengan cara fleksibel dan inovatif. (sumber)

Salah satu tantangannya misalnya ketika Hero ini sakit, cuti, atau bahkan resign.

Tantangan lainnya misalnya ketika sebuah situasi genting terjadi di dalam tim, maka sejauh mana anggota tim lain bisa resilience dalam menghadapi masalah tersebut.

Tim yang berbasis adanya Hero, akan sulit mencapai hal tersebut.

Kita coba lihat daftar permasalahan yang bisa muncul dengan tim berbasis Hero ini :

  1. Hero menjadi pusat keputusan dan bisa menjadi penghambat aksi tim yang dibutuhkan. Ketika setiap keputusan membutuhkan persetujuan Hero, maka artinya akan menghambat produktifitas tim.

  2. Frustasi di dalam diri Hero itu sendiri. Hero ini mungkin menikmati sanjungan, pujian, sekaligus tanggung jawab yang dibebankan kepada dirinya. Akan tetapi secara mental, Hero akan mengalami frustasi dari kerja-keras, lembur, dan komitmen yang berkepanjangan secara terus menerus. Lama-lama bisa terjadi burnout seperti yang saya tulis di sini

  3. Tim itu cuma terwakili oleh Hero nya saja. Representasi tim adalah kumpulan orang-orang. Dengan adanya Hero, maka anggota tim lain tidak akan mendapatkan otonomi dalam membuat keputusan, dan akan susah berkembang.

  4. Tim akan ter-demotivasi dan lama-lama menjadi tim yang lemah. Hero akan mem-blok otonomi bagi anggota tim lain. Akibatnya anggota tim lain merasa tidak dilibatkan sebagai anggota tim. Motivasi untuk berkontribusi di dalam tim akan berkurang. Tim secara langsung atau tidak langsung akan diatur oleh Hero dan susah berkembang menjadi tim yang self-organizing/mengatur diri sendiri. Tim yang selalu dikontrol oleh Hero tidak akan bisa berkembang karena inovasi, pendapat, dan kontribusi anggota tim lain tidak ada. Mereka hanya akan melakukan apa yang diperintahkan dan apa yang diputuskan termasuk didalamnya bagaimana melakukannya.

Kita lanjut part 3