Pendahuluan

Didalam sebuah perusahaan, pihak manajemen biasanya berupaya menyembunyikan banyak hal terhadap level dibawahnya.

Biasanya yang disembunyikan banyak hal itu misalnya :

  • Strategy perusahaan.
  • Finansial perusahaan.
  • Permasalahan di dalam perusahaan.
  • dll.

Hal ini bisa dimaklumi, karena banyak informasi yang dianggap terlalu sensitif, terlalu berisiko, tidak bisa dicerna oleh semua orang, regulasi dari tim compliance, data privacy, belum waktunya disampaikan, dll.

Kasus diatas terjadi karena adanya ketakutan terhadap ini :

Sharing sesuatu itu bisa mengakibatkan potensi kehilangan, kompetisi, biaya, resiko, dll.

Misalnya :

  • Melakukan sharing terhadap strategi perusahaan, akan membuat perusahaan lain bisa mencontek strategi yang sama.
  • Sharing Finansial dari perusahaan, bisa membuat orang lain tahu kekayaan perusahaan dan berakibat kepada audit, pelaporan pajak, dan hal finansial lainnya.
  • Sharing permasalahan di dalam perusahaan, bisa membuat orang-orang menjadi panik dan berpotensi membuat kekacauan di dalam perusahaan.
  • dll.

Apakah benar seperti itu ?

Sebagian memang benar.

Sharing informasi yang sensitif, strategi internal perusahaan, informasi yang melanggar data privacy, dan juga terkait dengan permasalahan personal di dalam perusahaan, bisa jadi perlu disembunyikan untuk tujuan tertentu.

Oleh karena itu ada namanya Data Classification Policy, yaitu klasifikasi data/informasi yang ada dalam perusahaan.

Klasifikasi ini lah yang menentukan bagaimana kita bersikap terhadap data/informasi yang kita terima di dalam perusahaan.

Terutama biasanya terkait data yang bisa keluar ke Publik atau diluar entitas organisasi.


Lalu apa yang tidak benar ?

Ok, sekarang kita sebenarnya mau berbicara mengenai Data/Informasi yang bersifat Internal.

Bukan mengenai informasi yang bersifat publik ataupun informasi yang terlalu rahasia.

Informasi internal ini yaitu informasi yang seharusnya :

  • Melibatkan partisipasi karyawan.
  • Terkait strategy dan rencana perusahaan.
  • Terkait keberlangsungan bisnis perusahaan.
  • dll.

Kita misalkan contohnya adalah :

  • Fokus dari sebuah perusahaan dalam quarter, semester, atau tahunan.
  • Tenggat waktu dari sebuah fitur beserta rincian dari rencana deliverynya.
  • Posisi dan porsi dari orang yang terlibat dalam strategi dan rencana perusahaan.
  • dll.

Informasi seperti diatas adalah informasi yang membutuhkan transparansi dan trust dalam melakukannya.

Hal ini karena yang melakukannya adalah karyawan, citizen dalam sebuah organisasi/ perusahaan.


Transparansi sejauh apa ?

Ok.ok..

Kita lihat sejauh apa transparansi yang perlu dilakukan.

Misalkan kita berandai-andai.

Misalkan sebuah strategi perusahaan sudah diputuskan, kemudian apakah dengan sekali pertemuan akan cukup bagi semua orang untuk memahaminya ?

Apakah ada tahapan sosialisasi yang dilakukan agar semua orang memahaminya ?

Dan apakah didesain tahap-tahapan yang perlu dilakukan agar sampai kesana ?

Kemudian apakah kalau ada perubahan strategi perusahaan, apa ada informasi lagi yang dikirimkan atau disosialisasikan kepada orang yang terlibat ?

Atau apakah ada feedback atau masukan untuk strategi perusahaan yang ada ?

Atau jangan-jangan hanya keinginan dan mimpi di awang-awang yang sebenarnya tidak mungkin dicapai dengan sumber daya yang ada.


Atau kalau kita lihat ke lingkungan / scope yang lebih kecil.

Misalnya tenggat waktu sebuah fitur terhadap sebuah tim development IT, beserta rincian rencana deliverynya.

Apakah sudah dikomunikasikan secara lengkap dan dipahami semua orang ?

Kalaupun misalnya terjadi perubahan tenggat waktu atau perubahan rencana, apakah juga sudah disosialisasikan kepada orang-orang yang terlibat ?.

Atau apakah ada feedback atau masukan terhadap rencana delivery dan tenggat waktunya tersebut.

Kalaupun ada perubahan rencana, apakah sudah dikonsultasikan secara teknis dan bisnis terhadap kasus tersebut ?


Kenapa ini bisa menjadi masalah ?

Tentu saja ini bisa jadi masalah.

Transparansi mengenai rencana, perubahan, detail dari sebuah fitur akan melibatkan banyak orang didalam realitasnya.

Ini bukan kerjaan satu orang dua orang saja.

Yang mengerjakannya adalah bukan manajemen level atas, tetapi level operasional.

Kendala, hambatan, tantangan yang dihadapi lebih banyak merupakan tantangan di level operasional.

Sehingga mengkomunikasikannya adalah hal penting dalam sebuah proses delivery sebuah fitur/produk.

Walaupun kita berada di era Agile, yang bisa saja terjadi perubahan rencana, tenggat waktu, orang yang terlibat, akan tetapi tidak berarti menghilangkan komunikasi dan transparansi mengenai perubahan tersebut.

Yang sering kita lihat adalah ke tidak mau an orang untuk transparan, gara-gara pencitraan, tidak mau kelihatan lemah/tidak bisa, jabatan dan posisi dalam organisasi, tekanan yang cukup besar dari banyak pihak, dan tidak ada psycological safety ketika mengutarakan sesuatu yang seharusnya dilakukan atau diutarakan.

Orang misalnya tidak mau bilang kalau sesuatu hal tersebut mustahil karena tidak ada sumber daya.

Atau waktunya terlalu sempit, atau kita tidak bisa memakai pendekatan tersebut karena melanggar standar perusahaan, dll.

Padahal justru mentalitas untuk tetap transparan lah yang menjadi bahan bakar dari kelincahan sebuah organisasi.

Tentunya Transparansi yang berdasarkan pada peraturan dan logika yang benar.

Transparansi lama kelamaan membentuk Trust di dalam organisasi.

Trust itu tidak dikatakan, tapi lebih banyak dirasakan dan perlu proses dalam pembentukannya.

Transparansi sebenarnya mengeluarkan dan menunjukkan point of view yang berbeda yang bisa jadi memperkaya penyelesaian sebuah fitur.

Seperti yang kita bahas di Trust

Trust terbentuk misalnya karena :

  1. Rasa percaya kalau pekerjaan seseorang di dalam tim sesuai dengan porsinya.
  2. Rasa percaya kalau penghargaan dan teguran/peringatan dilakukan sesuai dengan porsinya.
  3. Rasa percaya bahwa seseorang tidak memanfaatkan tim untuk kepentingan pribadi.
  4. Rasa percaya bahwa aspirasi dan ide seseorang bisa diakomodasi dan dihargai.
  5. Rasa percaya kalau seseorang dilibatkan secara aktif, dihargai dan dilibatkan proporsional dalam sebuah kasus.
  6. Bagi leader, manager, head, C-level, direktur, rasa percaya bahwa subordinate nya mampu melakukan tugas yang didelegasikan.

Begitupan dengan transparansi terbentuk karena :

  1. Komunikasi yang jelas antara berbagai pihak dalam rencana, detail, dan juga pengaturan waktu dan orang.
  2. Pengambilan keputusan yang tidak sepihak dan sesuai dengan porsinya.
  3. Perubahan rencana, tenggat waktu, detail yang dikomunikasikan dengan baik dan jelas.
  4. Feedback atau masukan yang dapat dilakukan oleh siapa saja dengan mental psycological safety yang kuat.

Oh iya, tentunya ini tidak terlepas dari cara komunikasi di organisasi / perusahaan tersebut.

Kalau masih berlandaskan kepada hirarki, maka akan susah sekali berbicara mengenai Trust dan Transparansi ini.

Sekiaan..