Pendahuluan

Pendahuluan awal mengenai Spotify Model bisa dilihat di sini.

Spotify Model merupakan model organisasi yang sering dicontoh oleh perusahaan yang berusaha untuk mengubah organisasi perusahaannya menjadi lebih lincah.

Akan tetapi perlu diingat bahwa Spotify Model ini boleh lah dijadikan rujukan dalam mengorganisasikan cara dan struktur dalam perusahaan.

Akan tetapi jangan dicontek mentah-mentah tanpa adanya analisa dan pemilihan cara yang sesuai dengan kondisi sekarang.

Topik ini cukup menarik dibahas, karena banyak yang telah terlanjur mengadosinya.


Konsep Dasar Spotify Model

Di dalam blog Henrik Kniberg & Anders Ivarsson, pad Oktober 2012, berjudul :

Scaling Agile @ Spotify with Tribes, Squads, Chapters & Guilds

Disebutkan bahwa Spotify Model ini terdiri dari 4 istilah/Unit organisasi :

  • Squads
  • Tribes
  • Chapters
  • Guilds

Kalau kita terjemahkan secara bebas :

  • Squads –> Regu, grup, tim
  • Tribes –> Suku, Kawanan, Pasukan
  • Chapters –> Cabang, atau Group dengan hobby yang sama.
  • Guilds –> Serikat, group formal untuk sekumpulan orang berprofesi/hobby yang sama.

Istilah-istilah diatas terkadang kita juga sering baca dan lihat di permainan game-game strategy, seperti Free Fire atau game lainnya.

Nama-nama istilah diatas sebenarnya hanya penamaan baru untuk unit-unit organisasi yang sebelumnya sudah terkenal.

Misalnya :

  • Squads, mirip dengan istilah tim, atau scrum team kalau di Scrum.
  • Tribes, mirip dengan istilah department, atau divisi, misalnya divisi search engine, divisi product, divisi payment dll.
  • Chapters, seperti internal sharing session group, regular sharing session di sebuah divisi.
  • Guilds, seperti misalnya community of practice, DevOps sharing session, dll.

Kenapa konsep diatas di perkenalkan ?

Kalau kita cermati, secara konsep ada beberapa “dugaan” pembentukan organisasi/unit seperti diatas, yaitu :

  • meningkatkan otonomi tim/squad. Karena dalam Spotify Model ini, Squad memiliki otonomi yang luas.

  • membuat struktur hirarki yang lebih pendek, agar organisasi menjadi lebih lincah.

  • meningkatkan technical excellence atau keahlian profesi dibandingkan hanya memikirkan kepentingan bisnis saja.

  • meningkatkan kepemimpinan yang kolaboratif karena banyaknya aspek yang dipertimbangkan dan juga group yang terlibat.

Semua ide di atas merupakan sesuatu yang bagus dan “kelihatannya” sangat membangun.

Misalnya :

  • Memberikan otonomi yang luas kepada tim/squad, sangatlah bagus karena yang tahu yang terbaik dan cocok bagi sebuah tim adalah memang timnya itu sendiri.

  • Memperbanyak horizontal hierarki, dengan adanya squad leader, tribe leader, chapter leader, informatl guild coordinator, dll. Hal ini akan memperbanyak orang yang bertanggung jawab untuk berbagai aspek penting baik secara bisnis maupun secara keahlian profesionalitas. Sehingga yang akan dibangun nantinya adalah kolaborasi.

  • Membuat grup untuk keperluan keahlian profesi/technical excellence, seperti keahlian dan sharing session yang dibuat dengan unit Chapter dan Guild.

  • Memaksa semua tim untuk berkolaborasi untuk kasus yang membutuhkan penyelesaian tugas lintas tim dan lintas divisi. Tentunya dengan cara yang egaliter dan struktur hirarki yang pendek.


Secara personal, saya sangat mendukung cara seperti di atas.

Akan tetapi tentu saja ada hambatan dan kasus yang ternyata dihadapi oleh Spotify sendiri dan perusahaan yang berusaha untuk mengadopsi model ini.


Apa saja itu hambatan dan kekurangannya ?

Setelah penerapan Spotify Model ini, maka ada beberapa kasus yang terjadi, diantaranya :

  • Ternyata tidak mudah untuk menyeimbangkan antara otonomi tim dengan kolaborasi antar tim. Di satu sisi, otonomi tim membuat tim menjadi Silo atau terpisah dari tim lainnya. Sementara kalau melakukan kolaborasi tim, akan banyak diskusi dan sesi kolaborasi yang bisa jadi tidak efektif.

  • Hirarki yang lebih banyak secara horizontal, membuat keputusan tidak bisa dengan cepat didapatkan. Karena semua kasus harus dipertimbangkan apalagi terhadap kasus yang menyangkut banyak tim, maka kolaborasi yang membutuhkan banyak meeting, konfirmasi, dan koordinasi antara tim berbeda bisa memperlama sebuah fitur di deliver.

  • Kemampuan komunikasi dan kolaborasi yang tidak merata diantara anggota tim dan antara tim-tim yang berbeda. Kemampuan interpersonal dan kolaborasi memang sangat akan diperlukan ketika berhadapan dengan model seperti ini. Tidak semua Engineer memiliki kemampuan ini. Bisa jadi kemampuan teknikalnya bagus, akan tetapi kemampuan interpersonal dan kolaborasinya tidak.

  • Penamaan istilah yang baru seperti squad, tribe, chapter, dan guild, bisa jadi membutuhkan adaptasi yang cukup menyulitkan bagi sebagian orang yang terbiasa dengan istilah umum seperti tim, divisi, departemen, dll. Tetapi sepertinya kasus ini bukanlah kasus yang penting.


Kesimpulan

Kalau kita lihat secara kasat mata, maka Spotify Model ini memang menawarkan cara berorganisasi dan bekerja dengan konsep yang cukup bagus.

Kolaborasi, Flat Hierarki, Komunikasi menjadi arah dari Spotify Model

Akan tetapi tentunya di setiap cara yang baru, akan ada keuntungan dan tentunya ada juga kekurangan yang menyertainya.

Oleh karenanya, sesuai dengan yang kita bahas di Spotify - Part 1, maka kita bisa mengambil apa yang baik dari Spotify Model, dan mengadopsi nya secara hati-hati dan dicocokkan dengan kondisi perusahaan kita sekarang ini.

Ok..kita lanjut lagi., mengenai tiap-tiap istilah dalam Spotify Model ini.

Kita bahas di artikel selanjuntya…


Kita lanjut ke Spotify Model - Squad